Yaa Allah...
Yaa Rabb!
Allahu Akbar!
Allah Maha Besar!
Puji syukur atas segala karunia-Mu!
Alhamdulillah...
Terima kasih banyak, Ya Allah!!
Masih ingat posting saya sebelumnya yang tentang kegalauan akan nilai rapor dan peringkat?
Lima hari yang lalu semuanya terjawab sudah.
Selama perjalanan menuju sekolah, mulut saya komat-kamit berdoa,
"Ya Allah, lapangkanlah dada hamba. Ya Allah, ikhlaskan... iya, iya, aku mantap, jangan nangis lagi. Aku ikhlas. Bismillah..."
Begitu sampai sekolah, Nisa bilang, "Puk, puk... sabar, ya, kamu disalip Astri."
Jadi Astri yang ranking III?
... Dan Anita ranking II?
Nggak tau kenapa waktu itu perasaanku langsung plong. Pikiran pertama yang melintas saat itu adalah :
Ya Allah... terima kasih banyak. Selamat, Astri! Selamat Anita! ^^
Aku juga nggak tau kenapa tiba-tiba aku merasa lega. Mungkin aku merasa feeling-ku selama ini benar... kalau nggak Astri, ya, Anita. Selama ini aku memperhatikan kerja keras mereka. Dan semuanya terbayar. Dan aku benar-benar lega mereka yang "menggeser" aku dan Dea. Diam-diam aku liat wajah mereka tersenyum, walau cuma sedikit, berusaha menyembunyikan rasa bahagia.
Perasaannya meluap-luap, ya? Aku juga dulu begitu waktu tau masuk tiga besar. Rasanya di luar dugaan. Hihihi~ ^^
Selamat, Astri dan Anita! Pertahankan prestasi dan kerja keras kalian! :D
Dan pikiran kedua yang melintas di pikiranku saat itu adalah :
Kenapa aku bisa selega ini?
Mungkin karena aku yang (jujur) terlalu perfeksionis. Aku lelah dengan tatapan orang, perkataan-perkataan "wah, kamu pasti..." atau "saya yakin...", atau serentetan kata-kata lainnya yang membuatku tertekan.
Jujur, mentalku bukan mental tiga besar. Mungkin sebenarnya dari awal aku menyadari bahwa aku nggak siap menyandang peringkat tiga besar karena aku mudah goyah. Dan aku terlalu takut. Mungkin melalui tulisan ini, aku akan terlihat aneh dan terkesan membesar-besarkan suatu masalah di mata kalian. Tapi beginilah aku.
Sejak awal aku menyadarinya. Aku nggak siap. Ranking III. Tapi aku berusaha menutupinya.
Dan sekarang, terlepas dari predikat tiga besar, aku benar-benar lega. Terima kasih, Ya Allah...!
Mungkin nantinya orang-orang akan bertanya dan berkata bahwa sangat disayangkan (atau bahkan mungkin akan ada yang kecewa) aku bisa selengah itu sehingga membiarkan posisiku diambil orang lain.
Tapi aku tidak masalah. Kelengahan, keputusasaan, amarah, rasa jenuh, iri dan dengki, kelelahan, kearoganan, kebencian... itu semua memberiku pelajaran. Dan cukup membuatku terpukul.
Aku baru menyadari keindahan jalan yang diberikan Tuhan. Ketika aku jatuh dan berusaha bangkit dengan memohon meminjam kekuatan dari-Nya, aku diberi kelapangan dada. Aku masih hidup, diberi akal-pikiran, kekuatan untuk tetap maju dan bangkit, diberi tangisan dan amarah, diberi kesadaran. Aku tersenyum puas.
... Dan yang jadi masalah berikutnya adalah :
Bagaimana nilai-nilaiku? Aku rangking berapa?
Tak masalah predikat tiga besar ku lepaskan. Aku senang, lega, dan ikhlas. Tapi bukan berarti aku bisa diam saja dan tertawa haha-hihi. Kalau rankingku bergeser sebegitu parahnya berarti aku benar-benar keterlaluan. Aku akan mengecewakan kedua orang tuaku dan mbahku.
Doaku waktu itu :
Ya Allah, ranking 10 nggak apa-apa, deh. Maksimal sepuluh besar. Kalaupun aku sampai "terdampar" di luar sepuluh besar, ikhlaskan hatiku. Ya Allah, besarkan hatiku. Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki diri, maafkan aku, buat diriku siap. Jangan down, jangan down...
Dan waktu Bu Nining mengumumkan peringkat sepuluh besarnya...
Alhamdulillah! Ya Allah, puji syukur, karunia-Mu sungguh tak terduga! Aku ranking 4! Paralel 8!
Ih, beneran waktu itu aku sampai sempat senyum-senyum sendiri sambil menahan tangis. Ih, gila. Ih, ih, ih... waw. Alhamdulillah... :')
Allahu Akbar! :')
Aku berharap ke depannya nanti aku bisa lebih dewasa. Jangan sampai galau nggak jelas lagi. Kalau bisa kegalauan yang mengganggu itu berkurang, perlahan-lahan (sambil memetik pelajaran dan hikmah kehidupan), sampai benar-benar hilang.
Sungguh, deh, itu kebiasaan burukku. Tiba-tiba bad mood, nangis dan marah-marah nggak jelas, nyalahin yang lain, terus malas ngapa-ngapain. Bahkan malas mengingat Tuhan. Astaghfirullah...
Bejat banget, sih, aku.
Ya Allah, teruslah bimbing aku. Dekap hatiku. Aku mencintai-Mu. Selalu. :')
Notes :
Selamat untuk Dewi yang berhasil meraih paralel II. Terima kasih banyak, Dewi, kamu sangat berjasa!
Terima kasih banyak, Astri!
^^
Thursday, December 20, 2012
Friday, December 14, 2012
TAKUT
Jujur...
Dulu pas kenaikan kelas ke kelas XII rasanya senang bukan main dapat ranking III. Rasanya banggaaa... banget!
Apalagi waktu itu Mama lagi down sepeninggalannya Mbah Uti. Rasanya bisa mempersembahkan "sesuatu" buat Mama itu Alhamdulillah luar biasa. Belum lagi Hera yang berhasil meraih posisi pertama di penerimaan murid baru SMA N 2 Purwokerto lewat jalur tes. Muka Mama perlahan-lahan mulai berubah cerah. Bapak sama Mbah juga ikut bangga. Alhamdulillah...
Tapi, aku lupa...
Kalau semuanya bisa jadi bersifat sementara.
Lengah sedikit semuanya akan langsung lepas dari tanganku.
Aku mulai ketakutan.
Proses belajar yang tadinya enjoy berubah jadi bayang-bayang rasa takut kalau nilai-nilaiku anjlok dan aku nggak bisa mempertahankan posisi itu.
Tujuanku jadi berubah, benar-benar murni ingin mencari nilai, bukan menyerap ilmu.
Aku iri sama teman-temanku.
Aku tau kemampuanku nggak kayak mereka. Sebenarnya kemampuanku jauh di bawah mereka. Mereka lebih cepat tangkap, sedangkan aku perlu tertatih-tatih dulu untuk bisa memahami semuanya. Aku merasa minder.
Terus kenapa aku bisa dapat ranking III? Karena aku percaya bahwa kerja keras yang paling utama.
Tapi kerja kerasku mulai menurun. Drastis, bisa dibilang.
Nilai-nilaiku mulai turun. Belajar nggak tenang.
Sedikit-sedikit mengeluh, sedikit-sedikit nangis.
Aku selalu dibayangi nila-nilai dan tatapan guru-guru.
Jujur...
Aku nggak suka ditatap. I tell you, salah satu kelemahanku adalah ditatap, terutama oleh orang dewasa. Guru, misalnya.
Bukan berarti mereka monster, tapi nggak tau sejak kapan aku nggak suka ditatap. Aku risih, rasanya serba salah. Apalagi kalau ada guru yang menatap saya dengan bangga sambil berkata, "Kamu rajin, ya. Ini dia calon-calon juara. Saya yakin kamu pasti bisa."
Dalam hati saya menangis...
Tolong, jangan pernah diucapkan. Itu beban.
Nilai, ranking, prestasi, kebanggaan...
Aku mulai masa bodoh. Aku udah capek, batinku.
Aku lebih suka tidur, menenangkan pikiran.
Mungkin terdengar keterlaluan, tapi ini yang kusebut dengan titik jenuh (mungkin inilah yang dinamani dengan berlakunya Hukum Gossen I).
Di saat yang lain sedang semangat-semangatnya belajar untuk meraih SNMPTN Undangan, aku jenuh dengan belajar, rasanya muak.
Tapi aku selalu ketakutan, sampai frustasi rasanya.
Kalau aku kebanyakan mengeluh, kapan majunya?
Akhirnya, aku coba mengejar ketinggalan.
Tapi semakin kukejar, rasanya yang lain semakin jauh. Ibaratnya teman-temanku mencapai puncak gedung dengan lift, aku masih tertatih-tatih di tangga darurat lantai dasar.
Aku benci. Aku iri.
Tapi aku nggak mau mengotori diriku dengan cara curang.
Akhirnya, aku sadar...
(Lagi-lagi) aku jarang bersyukur. Aku nggak ikhlas. Aku arogan.
Aku tau semua usaha butuh proses yang panjang, tapi dalam sebagian besar tahap itu tidak aku lakukan dengan ikhlas (mungkin lebih kepada pamrih). Dan aku kurang (kurang atau tidak?) mensyukuri apa yang telah aku raih.
Aku selalu lupa bahwa di balik semua ini selalu ada Tuhan yang memutuskan.
Terus aku nangis sejadi-jadinya.
Ya Allah,
kalau begini terus aku harus pasang muka seperti apa di hadapan Mbah dan orang tuaku, terutama Mama?
Aku malu kalau aku sampai mencoreng wajah mamaku di hadapan guru-guruku. Semua kebanggaan tentangku dalam diri mereka akan lenyap, itu yang aku takutkan. Aku takut dan gemetar membayangkan tatapan penuh kekecewaan mereka terhadapku.
Mama, Bapak, maaf... maafin Lia.
Ya Allah, ampuni aku...
Aku ikhlas, Ya Allah, ikhlas...
Aku tau aku sudah melenceng, pikiran dan nuraniku sudah tidak lurus lagi. Aku melewatkan kesempatan yang telah Kau beri padaku secara cuma-cuma. Semester I sudah habis, dan aku harus siap menanggung serta menerima konsekuensinya.
Ya Allah, tolong lapangkan dada hamba...
Bukalah hati dan pikiran hamba, jangan pernah bosan untuk menuntun hamba kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhai oleh-Mu.
Aku akan mencoba dan terus mencoba untuk belajar ikhlas.
Ku relakan kebanggaanku itu pada teman-temanku yang lebih layak menyandangnya. Setelah berbagai usaha telah mereka lalui, aku tau dan yakin mereka pantas mendapatkannya. Aku ikhlas.
Bantu aku untuk selalu menguatkan hatiku, Ya Allah...
Bangunkan aku di saat aku tertidur.
Ingatkan aku di saat aku mulai melupakan-Mu.
Dan bisikkan nyanyian syahdu-Mu di kala aku mulai berpikir di luar kontrol.
Dan juga... genggam tanganku di saat aku terjatuh dan merasa putus harapan.
Aku tidak boleh menyerah, berapa kali pun aku terjatuh.
Ya Allah, awasi aku.
Dulu pas kenaikan kelas ke kelas XII rasanya senang bukan main dapat ranking III. Rasanya banggaaa... banget!
Apalagi waktu itu Mama lagi down sepeninggalannya Mbah Uti. Rasanya bisa mempersembahkan "sesuatu" buat Mama itu Alhamdulillah luar biasa. Belum lagi Hera yang berhasil meraih posisi pertama di penerimaan murid baru SMA N 2 Purwokerto lewat jalur tes. Muka Mama perlahan-lahan mulai berubah cerah. Bapak sama Mbah juga ikut bangga. Alhamdulillah...
Tapi, aku lupa...
Kalau semuanya bisa jadi bersifat sementara.
Lengah sedikit semuanya akan langsung lepas dari tanganku.
Aku mulai ketakutan.
Proses belajar yang tadinya enjoy berubah jadi bayang-bayang rasa takut kalau nilai-nilaiku anjlok dan aku nggak bisa mempertahankan posisi itu.
Tujuanku jadi berubah, benar-benar murni ingin mencari nilai, bukan menyerap ilmu.
Aku iri sama teman-temanku.
Aku tau kemampuanku nggak kayak mereka. Sebenarnya kemampuanku jauh di bawah mereka. Mereka lebih cepat tangkap, sedangkan aku perlu tertatih-tatih dulu untuk bisa memahami semuanya. Aku merasa minder.
Terus kenapa aku bisa dapat ranking III? Karena aku percaya bahwa kerja keras yang paling utama.
Tapi kerja kerasku mulai menurun. Drastis, bisa dibilang.
Nilai-nilaiku mulai turun. Belajar nggak tenang.
Sedikit-sedikit mengeluh, sedikit-sedikit nangis.
Aku selalu dibayangi nila-nilai dan tatapan guru-guru.
Jujur...
Aku nggak suka ditatap. I tell you, salah satu kelemahanku adalah ditatap, terutama oleh orang dewasa. Guru, misalnya.
Bukan berarti mereka monster, tapi nggak tau sejak kapan aku nggak suka ditatap. Aku risih, rasanya serba salah. Apalagi kalau ada guru yang menatap saya dengan bangga sambil berkata, "Kamu rajin, ya. Ini dia calon-calon juara. Saya yakin kamu pasti bisa."
Dalam hati saya menangis...
Tolong, jangan pernah diucapkan. Itu beban.
Nilai, ranking, prestasi, kebanggaan...
Aku mulai masa bodoh. Aku udah capek, batinku.
Aku lebih suka tidur, menenangkan pikiran.
Mungkin terdengar keterlaluan, tapi ini yang kusebut dengan titik jenuh (mungkin inilah yang dinamani dengan berlakunya Hukum Gossen I).
Di saat yang lain sedang semangat-semangatnya belajar untuk meraih SNMPTN Undangan, aku jenuh dengan belajar, rasanya muak.
Tapi aku selalu ketakutan, sampai frustasi rasanya.
Kalau aku kebanyakan mengeluh, kapan majunya?
Akhirnya, aku coba mengejar ketinggalan.
Tapi semakin kukejar, rasanya yang lain semakin jauh. Ibaratnya teman-temanku mencapai puncak gedung dengan lift, aku masih tertatih-tatih di tangga darurat lantai dasar.
Aku benci. Aku iri.
Tapi aku nggak mau mengotori diriku dengan cara curang.
Akhirnya, aku sadar...
(Lagi-lagi) aku jarang bersyukur. Aku nggak ikhlas. Aku arogan.
Aku tau semua usaha butuh proses yang panjang, tapi dalam sebagian besar tahap itu tidak aku lakukan dengan ikhlas (mungkin lebih kepada pamrih). Dan aku kurang (kurang atau tidak?) mensyukuri apa yang telah aku raih.
Aku selalu lupa bahwa di balik semua ini selalu ada Tuhan yang memutuskan.
Terus aku nangis sejadi-jadinya.
Ya Allah,
kalau begini terus aku harus pasang muka seperti apa di hadapan Mbah dan orang tuaku, terutama Mama?
Aku malu kalau aku sampai mencoreng wajah mamaku di hadapan guru-guruku. Semua kebanggaan tentangku dalam diri mereka akan lenyap, itu yang aku takutkan. Aku takut dan gemetar membayangkan tatapan penuh kekecewaan mereka terhadapku.
Mama, Bapak, maaf... maafin Lia.
Ya Allah, ampuni aku...
Aku ikhlas, Ya Allah, ikhlas...
Aku tau aku sudah melenceng, pikiran dan nuraniku sudah tidak lurus lagi. Aku melewatkan kesempatan yang telah Kau beri padaku secara cuma-cuma. Semester I sudah habis, dan aku harus siap menanggung serta menerima konsekuensinya.
Ya Allah, tolong lapangkan dada hamba...
Bukalah hati dan pikiran hamba, jangan pernah bosan untuk menuntun hamba kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhai oleh-Mu.
Aku akan mencoba dan terus mencoba untuk belajar ikhlas.
Ku relakan kebanggaanku itu pada teman-temanku yang lebih layak menyandangnya. Setelah berbagai usaha telah mereka lalui, aku tau dan yakin mereka pantas mendapatkannya. Aku ikhlas.
Bantu aku untuk selalu menguatkan hatiku, Ya Allah...
Bangunkan aku di saat aku tertidur.
Ingatkan aku di saat aku mulai melupakan-Mu.
Dan bisikkan nyanyian syahdu-Mu di kala aku mulai berpikir di luar kontrol.
Dan juga... genggam tanganku di saat aku terjatuh dan merasa putus harapan.
Aku tidak boleh menyerah, berapa kali pun aku terjatuh.
Ya Allah, awasi aku.
Subscribe to:
Posts (Atom)