Jujur...
Dulu pas kenaikan kelas ke kelas XII rasanya senang bukan main dapat ranking III. Rasanya banggaaa... banget!
Apalagi waktu itu Mama lagi down sepeninggalannya Mbah Uti. Rasanya bisa mempersembahkan "sesuatu" buat Mama itu Alhamdulillah luar biasa. Belum lagi Hera yang berhasil meraih posisi pertama di penerimaan murid baru SMA N 2 Purwokerto lewat jalur tes. Muka Mama perlahan-lahan mulai berubah cerah. Bapak sama Mbah juga ikut bangga. Alhamdulillah...
Tapi, aku lupa...
Kalau semuanya bisa jadi bersifat sementara.
Lengah sedikit semuanya akan langsung lepas dari tanganku.
Aku mulai ketakutan.
Proses belajar yang tadinya enjoy berubah jadi bayang-bayang rasa takut kalau nilai-nilaiku anjlok dan aku nggak bisa mempertahankan posisi itu.
Tujuanku jadi berubah, benar-benar murni ingin mencari nilai, bukan menyerap ilmu.
Aku iri sama teman-temanku.
Aku tau kemampuanku nggak kayak mereka. Sebenarnya kemampuanku jauh di bawah mereka. Mereka lebih cepat tangkap, sedangkan aku perlu tertatih-tatih dulu untuk bisa memahami semuanya. Aku merasa minder.
Terus kenapa aku bisa dapat ranking III? Karena aku percaya bahwa kerja keras yang paling utama.
Tapi kerja kerasku mulai menurun. Drastis, bisa dibilang.
Nilai-nilaiku mulai turun. Belajar nggak tenang.
Sedikit-sedikit mengeluh, sedikit-sedikit nangis.
Aku selalu dibayangi nila-nilai dan tatapan guru-guru.
Jujur...
Aku nggak suka ditatap. I tell you, salah satu kelemahanku adalah ditatap, terutama oleh orang dewasa. Guru, misalnya.
Bukan berarti mereka monster, tapi nggak tau sejak kapan aku nggak suka ditatap. Aku risih, rasanya serba salah. Apalagi kalau ada guru yang menatap saya dengan bangga sambil berkata, "Kamu rajin, ya. Ini dia calon-calon juara. Saya yakin kamu pasti bisa."
Dalam hati saya menangis...
Tolong, jangan pernah diucapkan. Itu beban.
Nilai, ranking, prestasi, kebanggaan...
Aku mulai masa bodoh. Aku udah capek, batinku.
Aku lebih suka tidur, menenangkan pikiran.
Mungkin terdengar keterlaluan, tapi ini yang kusebut dengan titik jenuh (mungkin inilah yang dinamani dengan berlakunya Hukum Gossen I).
Di saat yang lain sedang semangat-semangatnya belajar untuk meraih SNMPTN Undangan, aku jenuh dengan belajar, rasanya muak.
Tapi aku selalu ketakutan, sampai frustasi rasanya.
Kalau aku kebanyakan mengeluh, kapan majunya?
Akhirnya, aku coba mengejar ketinggalan.
Tapi semakin kukejar, rasanya yang lain semakin jauh. Ibaratnya teman-temanku mencapai puncak gedung dengan lift, aku masih tertatih-tatih di tangga darurat lantai dasar.
Aku benci. Aku iri.
Tapi aku nggak mau mengotori diriku dengan cara curang.
Akhirnya, aku sadar...
(Lagi-lagi) aku jarang bersyukur. Aku nggak ikhlas. Aku arogan.
Aku tau semua usaha butuh proses yang panjang, tapi dalam sebagian besar tahap itu tidak aku lakukan dengan ikhlas (mungkin lebih kepada pamrih). Dan aku kurang (kurang atau tidak?) mensyukuri apa yang telah aku raih.
Aku selalu lupa bahwa di balik semua ini selalu ada Tuhan yang memutuskan.
Terus aku nangis sejadi-jadinya.
Ya Allah,
kalau begini terus aku harus pasang muka seperti apa di hadapan Mbah dan orang tuaku, terutama Mama?
Aku malu kalau aku sampai mencoreng wajah mamaku di hadapan guru-guruku. Semua kebanggaan tentangku dalam diri mereka akan lenyap, itu yang aku takutkan. Aku takut dan gemetar membayangkan tatapan penuh kekecewaan mereka terhadapku.
Mama, Bapak, maaf... maafin Lia.
Ya Allah, ampuni aku...
Aku ikhlas, Ya Allah, ikhlas...
Aku tau aku sudah melenceng, pikiran dan nuraniku sudah tidak lurus lagi. Aku melewatkan kesempatan yang telah Kau beri padaku secara cuma-cuma. Semester I sudah habis, dan aku harus siap menanggung serta menerima konsekuensinya.
Ya Allah, tolong lapangkan dada hamba...
Bukalah hati dan pikiran hamba, jangan pernah bosan untuk menuntun hamba kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhai oleh-Mu.
Aku akan mencoba dan terus mencoba untuk belajar ikhlas.
Ku relakan kebanggaanku itu pada teman-temanku yang lebih layak menyandangnya. Setelah berbagai usaha telah mereka lalui, aku tau dan yakin mereka pantas mendapatkannya. Aku ikhlas.
Bantu aku untuk selalu menguatkan hatiku, Ya Allah...
Bangunkan aku di saat aku tertidur.
Ingatkan aku di saat aku mulai melupakan-Mu.
Dan bisikkan nyanyian syahdu-Mu di kala aku mulai berpikir di luar kontrol.
Dan juga... genggam tanganku di saat aku terjatuh dan merasa putus harapan.
Aku tidak boleh menyerah, berapa kali pun aku terjatuh.
Ya Allah, awasi aku.
No comments:
Post a Comment