Assalamualaikum... :)
Yo~ what's up? Udah berapa lama aku nggak nulis di sini? Blog sampai dekil and the kumal, bahkan sampai nyaris jamuran kali, ya... apa kabar? How's life?
Daebak. Aku sampai bingung harus cerita dari mana. Yang jelas aku sangat berterima kasih dan bersyukur kepada Yang Di Atas bahwa aku sudah diberi banyak karunia dan hadiah-hadiah serta keajaiban yang tak terduga.
Aku lulus. Lulus SMA.
Here I am, after a long time. Now I'm coming as a (calon) freshman, hehehe... dan yang lebih Alhamdulillah lagi aku diterima di Ilmu Komunikasi UGM.
Aku bener-bener nggak nyangka. Malam itu, aku pulang dengan terburu-buru dari sekolah, tanpa mempedulikan tatapan aneh orang lain kenapa aku begitu nggak mempedulikan hujan yang membasahi sekujur tubuh. Sesampainya di rumah, aku langsung teriak-teriak, "Mama! Ternyata pengumuman SNMPTN-nya udah keluar dari jam 4 pm tadi! Ayo, cek! Kita periksa! Nyalain komputer!"
Dan ternyata... aku diterima. :')
Aku langsung jerit-jerit seneng, Mama juga. Mbah sampai nyium keningku. Adikku bengong liat aku kayak orang kesetanan, jempalitan nggak karuan. Aku langsung telepon Bapak dan Bapak juga seneng.
Akhirnya... doaku terjawab. Terima kasih, Ya Allah! :')
Aku sempat takut. Bukan karena nggak diterima lewat SNMPTN (karena kupikir masih ada jalur lain, SBMPTN, yang emang waktu itu lagi ku persiapin dengan hampir tiap hari keluar rumah untuk les), tapi karena jurusan yang kupilih. Semula aku berdebat dengan Bapak tentang keinginanku nyemplung di dunia seni. Aku pengen banget sekolah seni, entah itu di bidang seni lukis, teater, atau bahkan perfilman (coba!). Aku pengen mendalami seni ini, aku nggak mau melepaskannya gitu aja. Dan setelah perdebatan di telepon selama beberapa waktu, akhirnya aku nyerah.
Okay, kalau aku nggak boleh masuk di dunia seni, aku mau menekuni bidang sastra (yang aku yakini di sana aku akan menemukan bahan-bahan pelajaran seperti sastra lama dan modern, puisi dengan kerumitannya yang bikin kepala pusing tapi menarik, dll...). Aku lahir dengan kesenanganku akan menggambar dan menulis, aku nggak bisa hidup tanpa keduanya. Selagi aku melamun atau menjelang tidur, pasti di kepalaku selalu berputar tentang alur cerita (dan entah kenapa temanya selalu tentang a stubborn young girl yang cuek dan selalu bicara tentang cinta harus begini, harus begitu, padahal dia sendiri belum ngerti sama sekali artinya cinta), terus aku gambarkan tokohnya dalam lembar demi lembar kertas HVS (and guess what? Kertas-kertas HVS di rumah selalu habis bukan untuk keperluan nge-print, tapi karena "dicolong" aku buat menggambar berbagai tokoh imajinasi yang nggak henti-hentinya muncul di kepalaku, hingga akhirnya aku memutuskan untuk membeli buku sketsa yang tebal setebal-tebalnya), bahkan terkadang aku membayangkan kalau cerita-cerita ini kelak akan diangkat ke layar lebar. Mengasyikkan, pikirku. Jadi, kalau nggak boleh masuk sekolah seni, baiklah... aku putuskan masuk jurusan Sastra Indonesia.
Dan ternyata... ditentang (lagi). Aku bingung. Apa aku harus mempertahankan jurusan Psikologi yang ingin aku masuki sejak SMP? Aku juga tertarik dalam bidang Psikologi tapi entah kenapa hasratku selalu menggebu-gebu setiap aku menulis (satu hal yang membuatku selalu menunda makan dan terjangkit "penyakit" tidur larut malam). Jadi, bapakku menyarankan Ilmu Komunikasi. Di sana, aku diharapkan bisa lebih berkembang. Setelah penjelasan panjang lebar selama semalam tentang gambaran Ilmu Komunikasi, ya sudah. Aku pilih itu. Dan nggak tau kenapa Bapak berharap banget aku bisa diterima di situ. Sampai-sampai bapakku bilang kalau aku diterima di pilihan kedua, Psikologi, aku disuruh membuangnya dan ambil jalur tes (entah SBMPTN, UM, atau apalah) sampai aku berhasil masuk Ilmu Komunikasi. Coba!
Padahal bagiku nggak masalah kalau aku diterima di Ilmu Komunikasi atau Psikologi. Toh aku suka keduanya. Tapi kalau sampai aku diterima di Psikologi... aku harus gimana?
Aku sampai berdoa... Ya Allah, tolong bantu aku. Kalau aku bisa diterima di Ilmu Komunikasi, ya Alhamdulillah... please, Ya Allah... seenggaknya aku pengen liat wajah bapakku seneng. Andaikata aku memang ditakdirkan untuk nyemplung ke Psikologi, lapangkanlah hati bapakku. Aku ikhlas, Ya Allah... terserah Allah aja baiknya gimana.
... Dan ternyata doaku didengar oleh-Nya. :')
Terima kasih, Ya Allah... terim kasih. :')
Dan maaf, aku masih banyak dosa. :'(
Friday, June 14, 2013
Wednesday, February 20, 2013
Ibu Haryanti
Bu Haryanti,
taukah Ibu bahwa Ibu adalah satu-satunya
guru yang mampu menggugah semangat tentang kehidupan dalam diri saya
melalui cerita-cerita Ibu yang terhampar tiada batasnya?
Bu Haryanti,
tiada bosankah Ibu
mendulang perintah yang sama
meminta anak didikmu yang tak bisa berhenti berkicau
hingga waktu terlalu cepat untuk merasa usai?
Bu Haryanti,
beri ceritamu
pada kami yang haus akan dongeng kebajikanmu
yang memberi titik-titik cahaya penerang
dalam hidup remaja yang mudah tergelincir di lembah rintangan.
Tiada mengapa kau tak lagi bisa dengan jelas melihat bayang kami
karena bayang-bayang ini adalah milik Ibu, bayang-bayang para anak yang merindu
uluran kasih seorang ibu
dan guru, yang terus tegar berdiri dan mondar-mandir dalam ruang penuh bangku ini,
dan akan terus merangkul bayang Ibu hingga
Ibu dapat dengan jelas menangkap wajah-wajah belasan tahun,
wajah-wajah penuh kasih... terhadapmu.
Bu Haryanti,
bagaimana keadaan Ibu sekarang?
Masihkah Ibu takut dengan penglihatan yang bagimu bak hendak menelan Sang Surya?
Ibu tidak perlu takut.
Mungkin kami ribut, atau apalah
yang mampu mengikis kesabaranmu satu demi satu,
tapi kami menyayangi Ibu.
Ibu pasti sembuh.
Tiada lagi yang perlu mengganggu pandangan Ibu
dengan tangan ajaib-Nya,
yang mampu menghantarkan keajaiban
pada diri Ibu yang telah mengabdi dan
terukir dalam cita dan cinta kami.
Karenanya,
jangan pernah merasa lelah.
Pun kami akan terus berusaha
layaknya Ibu
agar kami pula bisa melihat
berlapis-lapis kebajikan yang tertanam dalam hidup di balik kemelut mendung,
seperti ceritamu
pada kami.
taukah Ibu bahwa Ibu adalah satu-satunya
guru yang mampu menggugah semangat tentang kehidupan dalam diri saya
melalui cerita-cerita Ibu yang terhampar tiada batasnya?
Bu Haryanti,
tiada bosankah Ibu
mendulang perintah yang sama
meminta anak didikmu yang tak bisa berhenti berkicau
hingga waktu terlalu cepat untuk merasa usai?
Bu Haryanti,
beri ceritamu
pada kami yang haus akan dongeng kebajikanmu
yang memberi titik-titik cahaya penerang
dalam hidup remaja yang mudah tergelincir di lembah rintangan.
Tiada mengapa kau tak lagi bisa dengan jelas melihat bayang kami
karena bayang-bayang ini adalah milik Ibu, bayang-bayang para anak yang merindu
uluran kasih seorang ibu
dan guru, yang terus tegar berdiri dan mondar-mandir dalam ruang penuh bangku ini,
dan akan terus merangkul bayang Ibu hingga
Ibu dapat dengan jelas menangkap wajah-wajah belasan tahun,
wajah-wajah penuh kasih... terhadapmu.
Bu Haryanti,
bagaimana keadaan Ibu sekarang?
Masihkah Ibu takut dengan penglihatan yang bagimu bak hendak menelan Sang Surya?
Ibu tidak perlu takut.
Mungkin kami ribut, atau apalah
yang mampu mengikis kesabaranmu satu demi satu,
tapi kami menyayangi Ibu.
Ibu pasti sembuh.
Tiada lagi yang perlu mengganggu pandangan Ibu
dengan tangan ajaib-Nya,
yang mampu menghantarkan keajaiban
pada diri Ibu yang telah mengabdi dan
terukir dalam cita dan cinta kami.
Karenanya,
jangan pernah merasa lelah.
Pun kami akan terus berusaha
layaknya Ibu
agar kami pula bisa melihat
berlapis-lapis kebajikan yang tertanam dalam hidup di balik kemelut mendung,
seperti ceritamu
pada kami.
Labels:
confession,
daily activities,
life,
poem,
school,
teenage
Subscribe to:
Posts (Atom)